Sebutlah namaku Aep. Sebenarnya nama pemberian Emak dan Abah adalah Saefuddin Anshory. Umur 35 tahun masih berstatus lajang. Bukan tanpa ikhtiar aku mencoba mencari
pasangan, hidup belahan jiwa. Husnudzan billah selalu aku tanam dalam hati ini. Siapa yang tak mau mengikuti sunah Rasul yang menikah diusia 25 tahun? Siapa yang tak ingin melengkapi separuh agamaku? Mungkin Allah belum memberikan teman
hidup yang terbaik bagiku.
“Ep, mau nggak aku kenalin sama si Diah?” tawar Ujang, duda anak satu ketika itu. Aku hanya mesem. Tak ada gairah untuk membicarakan hal yang klasik seperti ini. Apalagi Emak yang kelihatannya kurang
begitu suka kalau aku dikenalkan dengan wanita manapun. Maklum, Emak kini sendiri. Saudaraku yang lain dibawa
suaminya masing-masing ke perantauan. Abah sudah sepuluh tahun menunggu di alam
barzakh.
“Ep, gimana?” kembali Ujang menyarankan aku untuk segera menemui wanita itu, yang katanya janda beranak dua.
“Pikir-pikir dulu, Jang” jawabku tak bersemangat.
* * *
Entah angin apa, hari ini aku ingin sekali menemui wanita
yang bernama Diah itu. Padahal semenjak Ujang memberi informasi tentang janda itu aku tak merespon dengan serius. Tapi hari ini?
“Jang, ayo anter aku ke rumah si Diah!” yang diajak malah kelimpungan. Heran.
“Apa Akang siap menikahi saya? Janda dua anak, ditinggal mati suami dua tahun yang lalu.” jawab Diah ketika kutanya siap tidaknya jika saya melamar untuk dinikahi.
Seorang wanita yang pantas aku nikahi tanpa melihat status janda atau tidaknya. Wanita yang begitu kuat untuk melawan
hidup yang belum berpihak padanya. Kebahagiaan. Dua anak yang masih sekolah tidaklah cukup hanya berpenghasilan sebagai buruh tani saja. Akan kunikahi dia bukan karena rasa iba. Tapi panggilan jiwa yang terus mengajak aku untuk memberikan kasih sayang ini padanya.
Emak yang dari awal belum bisa menerima kehadiran seorang menantu, tentu saja marah dengan sangat. Aku yang tahu karakter Emak, mencoba membujuk dengan halus. Bijak.
Juga tak keluar pada koridor adab pada orang tua. Emak ridha.
Syukuran nikahan pun digelar dengan sederhana. Cukup kerabat dekat, juga anak santri yang ikut meramaikan suasana
sakral ini dengan tabuhan marawis yang apik.
Gelar lajang pun segera kutanggalkan. Kini aku menjadi suami dua anak yang siap membangun istana surga di pundakku.
* * *
* Tulisan ini dipersembahkan buat Jaddi (kakek)nya Diba, yang lagi menyambut jodoh.